TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Nasional Setifikasi Profesi (BNSP) sangat prihatin menyikapi minimnya pekerja di Tanah Air yang telah memiliki Sertifikat Kompetensi. Disinyalir, mahalnya biaya dan sulitnya membuat sertifikat sebagai biang keladinya.
“BNSP sangat miris dan prihatin karena dari begitu banyak pekerja di Tanah Air, hingga saat ini baru 3 juta orang yang memiliki sertifikat kompetensi. Kami menduga, mahalnya biaya sulit membuat sertifikat sebagai penyebab utamanya,” ungkap Kepala BNSP, Adjat Daradjat, Kamis (9/10/2014) malam.
Menurut pria yang sudah 34 tahun berkecimpung di bidang ketenagakerjaan, seharusnya pembuatan seritifat kompetensi jangan mempersulit pekerja.
“Kalau biayanya mahal, sulit membuatnya, pasti sedikit pekerja yang berminta membuat sertifikat kompetensi. Padahal, sertifikat kompetensi sangat dibutuhkan oleh pekerja. Apalagi menjelang diberlakukannya ASEAN Free Trade Zona,” jelasnya.
Bila pekerja asal Indonesia tak memiliki sertifikat kompetensi, mereka akan tergerus oleh jaman. Lebih dari itu, upah kerja mereka jauh di bawah standar.
Untuk itu Ajat menyarankan, semestinya setiap perusahaan bisa melakukan sertifikasi kompetensi terhadap karyawannya. Kalau pembuatan sertifikasi kompetensi harus dilakukan oleh lembaga tertentu, maka jumlah pekerja yang memperoleh sertifikat kompetensi tetap sedikit.
“Alangkah baiknya, jika perusahaan melakukan ujian sertifikasi kompetensi di perusahannya berdasarkan standar yang sudah ditetapkan pemerintah. Sehingga akan semakin banyak pekerja yang memiliki sertifikat kompetensi.”
Mantan dosen di Universitas Parahyangan (Unpar) dan Universitas Nasional (Unas) ini mengakui bahwa seharusnya pada tahun 2015 mendatang, sudah ada 20 juta pekerja yang memiliki sertifikat kompetensi.
“Namun dengan kenyataan yang ada, kita baru menargetkan pada 2019, bisa mencetak 20 juta pekerja bersertifikat kompetensi. Jika seorang pekerja telah memiliki sertifikat kompetensi, maka yang bersangkutan memiliki hak untuk berontak jika mendapat upah tak sesuai. Termasuk kepada perusahaan asing yang mempekerjakannya,” paparnya.
Mengenai biaya pembuatan sertifikat kompetensi, Adjat Daradjat mengakui bahwa memang tak bisa menentukan biaya besarnya biaya yang harus dikeluarkan seorang pekerja.
“Semuanya tergantung pada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang melakukannya. Namun BNSP menyarankan agar LSP tak mematok biaya yang mahal dan tak mempersulit seorang pekerja untuk memperoleh sertifikat kompetensi,” selorohnya.
“BNSP sangat miris dan prihatin karena dari begitu banyak pekerja di Tanah Air, hingga saat ini baru 3 juta orang yang memiliki sertifikat kompetensi. Kami menduga, mahalnya biaya sulit membuat sertifikat sebagai penyebab utamanya,” ungkap Kepala BNSP, Adjat Daradjat, Kamis (9/10/2014) malam.
Menurut pria yang sudah 34 tahun berkecimpung di bidang ketenagakerjaan, seharusnya pembuatan seritifat kompetensi jangan mempersulit pekerja.
“Kalau biayanya mahal, sulit membuatnya, pasti sedikit pekerja yang berminta membuat sertifikat kompetensi. Padahal, sertifikat kompetensi sangat dibutuhkan oleh pekerja. Apalagi menjelang diberlakukannya ASEAN Free Trade Zona,” jelasnya.
Bila pekerja asal Indonesia tak memiliki sertifikat kompetensi, mereka akan tergerus oleh jaman. Lebih dari itu, upah kerja mereka jauh di bawah standar.
Untuk itu Ajat menyarankan, semestinya setiap perusahaan bisa melakukan sertifikasi kompetensi terhadap karyawannya. Kalau pembuatan sertifikasi kompetensi harus dilakukan oleh lembaga tertentu, maka jumlah pekerja yang memperoleh sertifikat kompetensi tetap sedikit.
“Alangkah baiknya, jika perusahaan melakukan ujian sertifikasi kompetensi di perusahannya berdasarkan standar yang sudah ditetapkan pemerintah. Sehingga akan semakin banyak pekerja yang memiliki sertifikat kompetensi.”
Mantan dosen di Universitas Parahyangan (Unpar) dan Universitas Nasional (Unas) ini mengakui bahwa seharusnya pada tahun 2015 mendatang, sudah ada 20 juta pekerja yang memiliki sertifikat kompetensi.
“Namun dengan kenyataan yang ada, kita baru menargetkan pada 2019, bisa mencetak 20 juta pekerja bersertifikat kompetensi. Jika seorang pekerja telah memiliki sertifikat kompetensi, maka yang bersangkutan memiliki hak untuk berontak jika mendapat upah tak sesuai. Termasuk kepada perusahaan asing yang mempekerjakannya,” paparnya.
Mengenai biaya pembuatan sertifikat kompetensi, Adjat Daradjat mengakui bahwa memang tak bisa menentukan biaya besarnya biaya yang harus dikeluarkan seorang pekerja.
“Semuanya tergantung pada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang melakukannya. Namun BNSP menyarankan agar LSP tak mematok biaya yang mahal dan tak mempersulit seorang pekerja untuk memperoleh sertifikat kompetensi,” selorohnya.