. Lembaga Sertifikasi Profesi: 10/02/14

Kamis, 02 Oktober 2014

Uji Kompetensi Calon Anggota DPR

Jika kita mengaitkan peranan seorang anggota dewan dalam proses kemajuan bangsa, maka kita tidak bisa memungkiri betapa penting role yang dilakoninya. Sebagai lembaga legislatif, DPR seharusnya digerakkan oleh orang-orang yang berkompeten dalam pembuatan produk-produk legislasi. Tentunya, perundang-undangan yang ditelurkan dari senayan seharusnya bukan produk asal jadi, kejar tayang, dan tidak bernas. Produk perundangan yang dihasilkan haruslah menjiwai semangat yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Pun harus mencerminkan kedaulatan kita sebagai bangsa dan memenuhi rasa keadilan dan persatuan. Yang tidak kalah penting adalah produk lembaga legislatif ini seharusnya bisa mengedepankan kepentingan nasional, bukan kepentingan pribadi atau golongan.
Membuat sebuah aturan perundangan yang diberlakukan secara nasional dan mengatur hajat hidup orang banyak tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Butuh proses dan debat serta tukar pikiran yang panjang. Butuh kompetensi tertentu yang dimiliki oleh setiap orang yang berkeinginan maju pada pileg ke depan. Tidak asal berdebat yang akan menghabiskan waktu. Kita bisa melihat sendiri berapa banyak produk legislasi yang mental di tangan Mahkamah Konstitusi. Secara umum, hal ini mencerminkan kualitas UU tersebut. Jika dirunut lebih jauh lagi, yang membuat UU tersebut memiliki kualitas yang tak bernas adalah para anggota dewan yang duduk di senayan.

Mengapa ini bisa terjadi? Pikiran awam saya mengatakan bahwa tidak semua anggota dewan tersebut memiliki kompetensi dalam pembuatan UU. Mereka bisa melaju ke senayan hanya karena kepopulerannya, bahkan mungkin sebagian lagi dengan jalan money politic. Dengan kata lain, walaupun kompetensi saya sangat rendah dalam hal legislasi, tetapi karena saya populer, maka saya pun bisa melenggang mulus ke senayan. Alhasil, setelah terpilih, saya hanya akan lebih banyak membicarakan proyek-proyek yang menguntungkan diri saya, korupsi dikit-dikit, dan tidak secara aktif memikirkan masa depan bangsa melalui wewenang yang dimilikinya. Ingin berdebat, tetapi tidak tahu apa yang diperdebatkan. Ingin ikut aktif, tapi tidak punya kompetensi untuk itu.

Berangkat dari pemahaman itu, maka saya berpikir jika pada suatu saat ada yang namanya Uji Kompetensi Calon Anggota DPR/DPRD. Ujian ini dilaksanakan oleh partai politik. Artinya, pada saat seorang kader partai berencana untuk maju dalam pileg, maka sebelumnya dia harus mengikuti uji kompetensi dan kalau lolos ada sertifikat uji kompetensi. Tujuannya adalah untuk betul-betul menyaring calon-calon yang memiliki kemampuan ataupun kompetensi terbaik sehingga memudahkan dalam segala tugas-tugas yang akan diembannya. Adapun mengenai isinya, dapat didiskusikan nantinya.

Sekali lagi, mengapa itu penting karena tidak lebih karena wewenang pembuatan undang-undang bukanlah hal yang sepele. Peranannya sangatlah penting karena menyangkut orang banyak. Tidak semua orang bisa melakoni peranan ini. Dibutuhkan orang-orang berkualitas dari berbagai sisi untuk posisi ini. Dan bagaimana caranya mencapai untuk tujuan itu? Salah satunya dengan mengadakan uji kompetensi calon anggota dewan.

Anggota DPR harus Kompeten

Seorang Anggota DPR sekarang dipilih karena memang sudah banyak dikenal masyarakat, modal dikenal juga sudah cukup untuk dapat dipilih menjadi anggota DPR, selain itu itu juga modal uang untuk kampanye, banyak sekali artis yang banting stir untuk menjadi anggota DPR dengan dalih agar dia bisa memperjuangkan aspirasi rakyat.

Sebenarnya uji kompetensi publik untuk anggota DPR seharusnya dilakukan, agar nantinya apabila memang benar menjadi anggota DPR dia bisa berbuat sebenar-benarnya sebagaimana kompetensi yang dia miliki. Banyak sekali kasus korupsi yang terjadi karena memang kompetensi dia untuk menjadi anggota DPR memang belum teruji benar.

Banyak kepentingan politik yang mengesampingkan kepentingan rakyat sebenarnya, dikarenakan itu banyak juga anggota DPR dengan sekehendaknya memutar cara agar kepentingan golongan politiknya bisa menang, tanpa melihat kondisi sebenarnya dimasyarakat, misal dalam mengambil keputusan pemilihan kepala daerah lewat DPR, anggota DPR tidak melihat reaksi masyarakat secara umum untuk memutuskan suatu keputusan, mereka melihat kepentingan dari anggota kelompok mereka, bahkan cenderung dipaksakan. Belum lagi keputusan untuk memilih alat kelengkapan anggota dewan DPR, seperti ketua dan lainnya. Kelihatan sekali seperti haus kekuasaan, anggota kelompok tertentu memaksakan sidang paripurna sampai larut malam bahkan sampai pagi, apakah sewajarnya suatu keputusan yang dilaksanakan secara tergesa-gesa akan menghasilkan keputusan yang kurang baik, atau bahkan keputusan yang salah.

Perlu disini uji kompetensi untuk seluruh anggota DPR, agar kepatutan yang seharusnya dilakukan dalam mengambil keputusan dapat memang benar mewakili aspirasi rakyat, bukan tuntutan dari konstituen, atau golongan tertentu dan ingin menang sendiri, harus dapat dipertanggungjawabkan semua keputusan itu. Dengan uji kompetensi itu tentunya ada yang lolos dan tidak, sehingga apabila yang tidak lolos bisa diberi arahan yang jelas sebenarnya tugas dan tanggungjawab sebagai anggota DPR itu jelas dan ada manfaatnya bagi masyarakat.

Kompetensi di Dunia Kerja

Dalam dunia kerja, seorang calon karyawan seringkali diharapkan memiliki kompetensi tertentu atas jabatan kerja yang dimasuki. Hal ini menjadi acuan bagi perusahaan untuk tahu kemampuan kerja kita sebagai calon karyawan. Tidak hanya itu, melalui kompetensi yang kita miliki perusahaan lebih mengetahui posisi apa yang cocok dan tepat untuk kita. Bukan menjadi acuan baku bahwa kompetensi menjadi suatu hal paling penting untuk dimiliki seorang karyawan, tetapi sebagai calon karyawan kita perlu tahu kira-kira kompetensi seperti apa yang umumnya diinginkan perusahaan.

Apa sih kompetensi kerja itu?
Kompetensi dapat diartikan sebagai karakter individu yang dapat diukur dan ditentukan untuk menunjukkan perilaku dan performa kerja tertentu pada diri seseorang (Spencer, McClelland & Spencer, 1994). Jadi, kompetensi merupakan panduan bagi perusahaan untuk menunjukkan fungsi kerja yang tepat bagi seorang karyawan. Kompetensi berkaitan dengan sikap (apa yang dikatakan dan dilakukan seseorang) yang menunjukkan performa seseorang baik atau buruk. Banyak sekali studi dan penelitian yang membahas tentang kompetensi di dunia kerja ini.

Kenapa sih kompetensi diperlukan?
Pada dunia kerja, kompetensi dibutuhkan untuk mengetahui tipe pekerjaan seperti apa yang tepat bagi seseorang. Apabila kompetensi atas diri seorang karyawan telah diketahui maka perusahaan pun mampu membantu untuk mengembangkan pribadi melalui training atau pelatihan tertentu. Selain itu, kompetensi yang dimiliki seorang karyawan mampu menjadi petunjuk bagi perusahaan untuk mengetahui sejauh mana ia mampu menampilkan diri dan memberikan hasil kerja optimal untuk perusahaan.

Sejauh mana kompetensi bisa dikembangkan?
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kompetensi membantu perusahaan untuk mendeskripsikan bagaimana kinerja seseorang. Hal ini tentu saja berkaitan dengan pengetahuan, keahlian, dan kemampuan kerja seseorang atas bidang kerja tertentu. Kompetensi merepresentasikan dimensi kerja yang penting bagi diri seseorang. Nah, dari kompetensi yang tampak inilah perusahaan jadi lebih mengetahui bagaimana seorang bertanggung jawab, menyelesaikan masalah, dan mentransfer informasi kepada orang lain terkait tugas yang diinstruksikan oleh atasannya. Intinya, kompetensi digunakan untuk merencanakan, membantu, dan mengembangkan perilaku dan kinerja seseorang. Tidak hanya itu, melalui kompetensi kerja seorang karyawanlah perusahaan dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan pekerjanya (Anderson, Ones, Sinangil & Viswesvaran, 2005).

Apakah perusahaan punya standard kompetensi atas karyawannya?
Tentu saja setiap perusahaan punya kriteria kompetensi tertentu yang diharapkan dari para karyawannya. Bahkan banyak perusahaan telah menyusun standard kompetensi atas setiap posisi yang ada di perusahaannya. Bukan melalui cara yang mudah setiap perusahaan membuat kompetensi tertentu untuk para karyawannya, perusahaan akan memetakan kompetensi dalam bentuk perilaku terkait tugas, kemampuan, dan tanggung jawab untuk mengetahui kematangan bersikap serta berpikir seorang karyawan. Namun, kompetensi tidak selalu berhubungan langsung secara pasti dengan perilaku yang harus dimiliki atas suatu fungsi tugas dalam jabatan. (Jackson & Schuler, 1990; Kerr, 1982; Snow & Snell, 1993).

Kompetensi apa saja sih yang harus dimiliki seorang karyawan?
Walaupun bukanlah suatu patokan baku, tetapi pada umumnya perusahaan ingin memiliki karyawan yang punya kompetensi (Spencer & Spencer, 1994), antara lain sebagai berikut :
- Semangat berprestasi untuk mencapai target kerja (Achievement to work)
- Teliti dan punya perhatian terhadap tugas kerja (Concern for order)
- Proaktif (Initiative)
- Punya keingintahuan tinggi (Information seeking)
- Berempati terhadap orang lain (Interpersonal understanding)
- Berorientasi kepada pelanggan (Customer service orientation ) *bila perusahaan bergerak di jasa pelayanan
- Kemampuan komunikatif yang diplomatis dan persuasif (Communicative – Impact and influence)

Darimana perusahaan tahu kompetensi pekerjanya?
Kita terbiasa untuk melakukan proses seleksi melalui tahapan yang cukup panjang saat melamar di perusahaan tertentu. Dari proses awal sampai tahap interview akhir inilah perusahaan melihat kompetensi apa saja yang dimiliki calon karyawannya, bahkan dari sejak kita mengirimkan curriculum vitae kepada mereka. Proses psikotes yang ditambah dengan interview mendalam dari perusahaan dapat memperjelas kompetensi yang dimiliki seseorang.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka sebaiknya sebagai seorang pekerja kita mampu menampilkan kompetensi optimal kepada perusahaan. Bukan berarti berusaha menampilkan diri sebaik mungkin, tetapi menjadi pribadi pekerja yang apa adanya. Hal ini karena sesungguhnya setiap orang punya kompetensi unik yang dapat dikembangkan lebih baik demi mencapai posisi sebagai pekerja yang mampu mengaktualisasikan diri.

Pentingnya Sertifikasi Untuk Menghadapi MEA 2014



Beberapa hari terakhir ini wacana kesiapan Indonesia menghadapi pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di tahun 2015 sangat gencar dibahas.
Sebagian kalangan terlihat optimis memandang hal tersebut, namun selebihnya bernada negatif. Tanpa berupaya menghakimi salah satu pihak, persiapan kita dalam menghadapi MEA boleh dibilang masih kalah dengan negara-negara tetangga. Sebagai contoh, produk-produk lokal Thailand dan Malaysia kini sudah lebih dari 90% tersertifikasi. Beberapa di antaranya bahkan mulai masuk ke pasar Indonesia.

Berbeda halnya dengan kondisi di nusantara. Sampai dengan pertengahan bulan ini kesiapan Indonesia menghadapi MEA baru mencapai 83%. Padahal jika dilihat dari kepemilikan sumber daya alam dan manusia, negara kita harusnya jauh lebih siap menyongsong penerapan kesepakatan tersebut.

Inilah yang kini mulai menimbulkan ‘keresahan’ di kalangan pemain lokal. Alih-alih menang dalam persaingan, salah strategi bisa membuat mereka ‘gulung tikar’. Jika itu permasalahannya, apa yang perlu kita cermati?

Pertama, pentingnya pemain lokal untuk memiliki hak paten, khususnya dari sektor usaha mikro kecil menengah. Serbuan produk-produk asing pada era MEA diyakini berasal dari sektor UMKM di setiap negara. Hal ini dipicu oleh trend pertumbuhan sektor kreatif di Asia Tenggara.
Tengok saja bagaimana sekarang media sosial instagram lazim digunakan sebagai media promosi yang sekaligus menciptakan penjualan. Perkembangan internet dengan koneksi yang makin cepat merupakan peluang emas bagi pebisnis pemula berkategori UMKM untuk masuk ke pasar internasional.
Meski perkembangan itu cukup massif, namun harus diakui bahwa era perdagangan online telah memicu persaingan menjadi semakin sengit. Copy-paste produk maupun merek kini marak terjadi. Kita dapat memperhatikan kemiripan merek yang bertujuan untuk ‘merebut’ pasar. Konsumen yang tak jeli cenderung akan memperoleh produk ‘tiruan’ pada toko online yang tidak menjadi rujukan utama. Dalam jangka menengah, kondisi ini sebenarnya sangat mengkhawatirkan sehingga kepemilikan paten diharapkan mampu menjadi solusi terbaik bagi terciptanya sebuah daya saing.

Kedua, pentingnya standardisasi bagi produk-produk lokal. Hingga kini harus disadari bahwa pemahaman pemain akan perlunya upaya standardisasi produk masih rendah. Kita dapat melihat bagaimana buah-buah hasil budi daya di bumi Pertiwi kalah bersaing dengan produk sejenis dari Thailand di pasar global. Padahal dua puluh tahun sebelumnya kondisi sebaliknyalah yang terjadi. Tak hanya itu, konsumsi pasar domestikpun kini harus ditopang oleh pasokan dari negara tetangga.
Usut punya usut ternyata faktor pemicunya adalah standardisasi produk. Anda mungkin masih ingat kejadian penolakan buah-buahan dan sayur mayur nusantara ditolak oleh pasar Eropa di akhir 2012. Faktor penyebabnya adalah kemasan (packaging) yang tidak memenuhi standar ‘ramah lingkungan’, padahal di lain sisi kualitas buah dan sayurnya jauh lebih baik ketimbang negara pemasok lainnya. Sungguh sangat miris bukan?
Merujuk pada realitas tersebut dapat disimpulkan bahwa pekerjaan rumah untuk membuat para pemain lokal memahami arti penting standardisasi produk yang berorientasi ekspor merupakan tanggung jawab segenap elemen bangsa.
Program pendampingan (mentoring) UMKM harus segera diadakan agar dalam hitungan bulan akan terjadi banyak penambahan produk yang telah terstandardisasi. Di satu sisi kehadiran pemerintah untuk memberikan dukungan berupa kemudahan serta akses informasi mutlak dibutuhkan. Sedangkan di lain sisi perusahaan besar dapat turut mempercepat pengembangan UMKM dengan memberikan pendampingan manajerial serta jejaring agar standardisasi dapat dilakukan.
Memiliki produk terstandardisasi pada fase lanjutan sebenarnya akan mempermudah pemain untuk mengurus sertifikasi. Ini merupakan modal awal bagi produk untuk melangkah ke pasar internasional.
Perhatian pemerintah khususnya dalam meningkatkan kemudahan dan fleksibilitas layanan pengurusan sertifikasi sangat dibutuhkan. Hanya melalui cara inilah industri lokal akan mampu bersaing di pasar ASEAN sekaligus menepis kekhawatiran persaingan di era MEA.

Standardisasi dan Sertifikasi Profesi: Sebuah Tren atau Kebutuhan?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, profesi berarti bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan dan keahlian tertentu, sedangkan Oxford Dictionary mendefinisikannya sebagai pekerjaan yang dibayar, terutama pekerjaan yang membutuhkan pendidikan dan pelatihan lanjutan.

Adapun standar didefinisikan sebagai ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan dan standardisasi merupakan penyesuaian bentuk (ukuran, kualitas) dengan pedoman (standar) yang telah ditetapkan.

Mengapa Perlu Standardisasi Profesi?
Igor Ansoff, pakar manajemen strategi, menyatakan, untuk sukses bersaing dalam kondisi lingkungan yang berubah secara turbulen, suatu organisasi harus memiliki kapabilitas atau kemampuan yang fit terhadap turbulensi lingkungan tersebut. Kapabilitas organisasi ditentukan tiga faktor utama, yaitu profil manajer, kompetensi, dan iklim atau budaya organisasi.

Dua hal yang pertama sebetulnya merupakan faktor yang berada di dalam kendali organisasi dan dapat diintervensi untuk meningkatkan kapabilitas dan daya saing organisasi. Pada kenyataannya, pendidikan formal tidak selalu mampu menyediakan sumber daya manusia (termasuk manajer) yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja.
Masih banyak lulusan pendidikan tinggi yang dinilai tidak siap pakai sehingga,saat bergabung dengan sebuah organisasi, sumber daya manusia tersebut tidak mampu mendukung peningkatan kapabilitas organisasi.

Hal ini salah satunya terjadi karena perkembangan teknologi kerja tidak diikuti dengan perkembangan kurikulum yang sesuai. Di sisi lain, organisasi pun tidak selalu mampu menetapkan kompetensi seperti apa yang harus dimiliki untuk menduduki posisi atau pekerjaan tertentu.
Karena itu kerap terjadi adanya ketidaksesuaian antara kompetensi riil yang dimiliki karyawan yang ada saat ini dengan kompetensi standar yang menjadi tuntutan pekerjaan atau profesi, yang pada akhirnya berakibat pada tidak tercapainya sasaran kinerja dan lemahnya daya saing organisasi.
Untuk itu diperlukan standardisasi kompetensi. Standardisasi menjadi semakin penting pada era bisnis global, bisnis yang bisa berlangsung antarnegara. Tenaga kerja asing dari berbagai bidang pekerjaan dapat bebas masuk ke Indonesia dan menjalankan praktik usaha. Persaingan tidak lagi terjadi hanya antarindividu atau antarorganisasi dan perusahaan, tetapi sudah antarnegara.

Saat ini, secara nasional daya saing Indonesia, berdasarkan survei human development index (HDI) oleh UNDP pada 2007, menempati urutan ke-107 (dan urutan ke-108 tahun 2006) dari 177 negara yang disurvei, di bawah Vietnam yang baru lebih kurang 15 tahun lepas dari perang dengan Amerika Serikat (AS).Vietnam mampu menduduki urutan ke-105 (tahun 2007), dua poin lebih baik dari posisi Indonesia.

Ini pekerjaan rumah yang cukup berat bagi pemerintah kita. Untuk mengatasi persoalan di atas, standardisasi kompetensi yang dibutuhkan untuk profesi atau pekerjaan tertentu tidak lagi hanya sebuah tren,tapi sudah menjadi suatu keharusan.

Dengan adanya standardisasi profesi, diharapkan akan tercapai the right man with the right competencies untuk pemenuhan tugas dan tanggung jawab pada pekerjaan atau profesi tertentu sesuai dengan tuntutan organisasi dan lingkungan.

Di negara-negara maju, standardisasi profesi sudah lama dilakukan, misalnya lewat National Vocational Qualification (NVQ) di Inggris atau National Organization for Competency Assurance (NOCA) di AS.
Adapun di Indonesia,berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pemerintah telah membentuk BNSP atau Badan Nasional Sertifikasi Profesi, sebuah lembaga independen yang bekerja untuk menjamin mutu kompetensi dan pengakuan tenaga kerja pada seluruh sektor bidang profesi di Indonesia melalui proses sertifikasi.
BNSP merupakan lembaga yang mempunyai otoritas dan menjadi rujukan dalam penyelenggaraan sertifikasi kompetensi kerja secara nasional. Pembentukan BNSP diharapkan dapat mendorong terjadinya peningkatan kompetensi atau kapabilitas dan daya saing sumber daya manusia Indonesia di pasar kerja global.

Dalam PP No 23/2004 yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri 5 Agustus 2004, diatur ketentuan mengenai sertifikasi kompetensi kerja dan standar kompetensi kerja nasional Indonesia.
Sertifikasi kompetensi kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji kompetensi yang mengacu pada standar kompetensi kerja nasional dan atau internasional.

Sementara standar kompetensi kerja nasional Indonesia merupakan rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, keahlian, serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Beberapa contoh standardisasi dan sertifikasi profesi yang sudah ada sejak lama adalah chartered financial planner (CFP), chartered pilot licence (CPL), certified economic developer (CEcD), dan chartered member of institute of logistic and transport (CMLIT).
Untuk memenangi persaingan lokal maupun global,secara agresif dan intensif beberapa organisasi menanamkan investasi dalam bentuk program pengembangan kompetensi karyawan dengan tujuan meningkatkan daya saing.

Dalam 10 tahun terakhir, sudah ada perusahaan yang menggunakan jasa konsultan (lokal maupun asing) untuk membangun standar kompetensi serta melakukan sertifikasi seperti yang dilakukan sebuah bank swasta nasional untuk posisi senior teller yang ada di perusahaannya.

Secara individu, saat ini pelatihan- pelatihan sertifikasi kompetensi yang diselenggarakan di institusi pelatihan lokal maupun internasional semakin banyak diikuti oleh mereka yang ingin meningkatkan nilai jual dirinya. Contohnya kelas pelatihan sertifikasi pengadaan dan accredited competency professional yang diselenggarakan sebuah institusi pendidikan yang berlokasi di Jakarta Pusat.
Kelas itu tidak pernah sepi dari peserta, sebagian besar mengikuti pelatihan atas biaya pribadi. Padahal, biaya pelatihan yang dibebankan kepada peserta relatif tinggi, lebih dari Rp10 juta per program. Terlihat bahwa secara individu, kesadaran sumber daya manusia Indonesia untuk meningkatkan daya saing sudah semakin tinggi.

Semakin disadari bahwa ijazah yang diperoleh dari pendidikan formal saja tidak cukup, tetapi akan lebih bernilai lagi bila memiliki sertifikasi (yang berarti pengakuan) untuk profesi tertentu. Masalahnya sekarang perlu dikaji lebih lanjut, apakah lembaga pelatihan dan sertifikasi kompetensi tersebut dapat diandalkan?

Dikarenakan ruang lingkup kompetensi kerja sangat luas dan tersebar di berbagai sektor, BNSP memberikan lisensi kepada lembaga sertifikasi profesi yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja.

Perlu dilakukan pengecekan, apakah lembaga pelatihan dan sertifikasi kompetensi tersebut merupakan salah satu lembaga yang mendapatkan lisensi dari BNSP.
Bila tidak, perlu dilihat dengan siapa lembaga tersebut berafiliasi karena ada juga lembaga lokal yang bekerja sama dengan lembaga asing sejenis BNSP dalam penyelenggaraan pelatihan dan sertifikasi kompetensi tersebut.

Mengapa hal ini menjadi penting? Hal itu agar sertifikasi yang diperoleh tidak hanya menjadi selembar kertas tak berarti, tetapi memenuhi legalitas dan diakui secara publik.
*Tulisan dimuat di Harian Seputar Indonesia, 7 Maret 2009