. Lembaga Sertifikasi Profesi: 12/02/14

Selasa, 02 Desember 2014

MEA 2015 DAN KESIAPAN SUMBER DAYA MANUSIA INDONESIA



Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan resmi diberlakukan mulai 1 Januari 2016 seharusnya menjadi fokus perhatian bagi presiden baru hasil pemilu 2014. Tugas berat yang akan diemban Presiden terpilih, telah menunggu. Sejumlah agenda pembangunan nasional memerlukan perhatian serius, salah satunya ialah MEA 2015 mengingat waktu yang tersisa relatif singkat.

Secara umum setidaknya terdapat empat hal penting terkait pelaksanaan MEA 2015. 
  1. Pertama, ASEAN sebagai pasar dan produksi tunggal. 
  2. Kedua, pembangunan ekonomi bersama. 
  3. Ketiga, pemerataan ekonomi. 
  4. Keempat, perkuatan daya saing, termasuk pentingnya pekerja yang kompeten. 
 
Kesepakatan pelaksanaan AEC ini diikuti oleh 10 negara anggota Asean yang memiliki total penduduk 600 juta jiwa.

Sekitar 43% jumlah penduduk Asean itu berada di Indonesia. Artinya, pelaksanaan MEA ini sebenarnya akan menempatkan Indonesia sebagai pasar utama yang besar, baik untuk arus barang maupun arus investasi. Dalam kontek arus barang, sudahkan barang-barang lokal nasional mampu bersaing melawan produk-produk unggulan dari Thailand, Vietnam, Filiphina, Brunei darussalam, dan Malaysia, baik dari sisi harga maupun kualitas.

Harus diingat, berdasarkan data tahun 2012 perdagangan antara Indonesia dengan Vietnam tercatat defisit 157 juta dolar AS, dengan Thailand defisit 721 juta dolar AS, dengan Singapura defisit 707 juta dolar AS, dengan Malaysia defisit 511 juta dolar AS, bahkan dengan negara kecil Brunei Darussalam defisit 281 juta dolar AS.

Memang, secara konsepsi MEA sangat makro dan tidak mudah darimana akan mengawali persiapannya. Komite Persiapan MEA yang dibentuk oleh pemerintah tentu kesulitan menyusun draft persiapan menghadapi MEA 2015. Jika demikian kondisinya, bisa dipastikan defisit neraca perdagangan dengan negara-negara disebut di atas akan semakin besar nilainya.

Sebenarnya masih cukup waktu untuk melakukan negosiasi ulang mengenai poin-poin yang penting disepakati yang memberikan keuntungan untuk posisi Indonesia. Pola atau model yang telah diterapkan oleh negara-negara anggota Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) sebaiknya tidak diterapkan pada kesepakatan MEA. Sebagian poin-poin pada MEE harus dihindarkan pada MEA. Ini harus jelas dan tegas. Konsep MEA harus lebih menjamin penyerahan keputusan kepada setiap negara anggota. Sebab dari sinilah Indonesia bisa memainkan peran pentingnya.

Sosialisasi juga harus dilakukan pemerintah dalam kontek persiapan MEA yang bukan semata mengenai cara-cara menembus pasar ASEAN, tapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana pengusaha nasional bisa bertahan di pasar lokal di tengah besarnya arus barang dari SEAN.

APA PENGARUH HADIRNYA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015?

Dengan dibukanya tirai perdagangan barang dan jasa, serta tenaga terampil kepada sesama negara anggota ASEAN, persaingan semakin terbuka. Berbagai hambatan tariff dan non-tariff dikurangi (atau mungkin dihapus). Para produsen semakin mudah menjual produknya ke negeri tetangga. Peluang berkarir di negeri tetangga pun terbuka. Sebaliknya Indonesia juga menjadi terbuka akan hadirnya produk dan tenaga terampil sesama ASEAN.
 
Dalam banyak perbincangan, termasuk yang saya simak dari Prof. Hora Tjitra di radio Brava 103.8 FM Jakarta, umumnya kendala produsen Indonesia adalah standardisasi kualitas produk yang belum berstandar internasional. Kendala lain tentunya jaringan produksi, pemasaran dan distribusi. Ini berbagai masalah pada komoditi benda.
 
Kendala para tenaga terampil beda-beda tipis. Belum adanya sertifikasi profesi sebagai pengakuan standar internasional, selain tentunya kemampuan bahasa asing, kualitas etos kerja, serta profesionalisme. Yang terakhir ini tidak terbatas pada profesi bergengsi seperti pengacara, akuntan, atau dokter. Namun juga profesi ekonomi kreatif seperti graphic designer, arsitek, koki, pengembang software, penerjemah, awak perhotelan dan travel, dan sebagainya.

Saya sudah sering mendengar obrolan kiri-kanan dari berbagai komunitas dan industri end-user. Sebagian mengeluhkan etos kerja dan profesionalisme tenaga kerja Indonesia. Sering tidak memenuhi deadline, atau kurang tanggap dalam berkomunikasi seperti surat elektronik. Itu dalam ranah bisnis. Sering juga saya mendengar pengelola pameran atau bazaar mengeluhkan booth untuk komunitas dibiarkan kosong. Hanya terisi lembaran-lembaran karya dan informasi, tanpa dihadiri perwakilan komunitas untuk berkomunikasi. Padahal booth disediakan gratis, sedangkan peserta lain (komersial) dikenakan biaya sewa.
 
Terdengar sederhana memang, tapi etos kerja dan profesionalisme ini menjadi fondasi dari berbagai hal yang berujung pada nama baik dan rezeki. Di Singapura contohnya, profesi awak angkutan umum dan pramusaji banyak diisi keturunan India dan China daratan. Kenapa? Karena warga asli Singapura enggan melakukannya. Di Malaysia banyak pekerja perkebunan diisi warga Indonesia. Kenapa? Karena warga asli Malaysia enggan. Kenapa warga India banyak ditemukan bekerja di Malaysia, Singapura dan Indonesia? Karena mereka mau kerja keras dan etos kerjanya baik.
 
Jangan sampai karena reputasi buruk, para produsen dan pemberi kerja Indonesia lebih suka memberikan proyek kepada komikus ASEAN lain. Jangan salahkan mereka, namun salahkan diri sendiri.