Kabar24.com, JAKARTA - Pengamat ekonomi dari Universitas Mataram Dr M Firmansyah menilai konflik anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang masih menunjukkan tanda-tanda belum berakhir bisa mempengaruhi kesiapan Indonesia menghadapi persaingan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015.
"Kemungkinan kisruh antaranggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah belum ada tanda-tanda berakhir secara permanen," katanya di Mataram, Jumat (21/11).
Kondisi politik yang belum mereda, menurut dia, berpengaruh terhadap kondisi perekonomian dalam negeri.
Oleh sebab itu, Ketua Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Mataram (Unram) itu menyarankan pemerintah menunda pemberlakukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015.
"Kondisi politik dan ekonomi dalam negeri belum siap untuk bersaing. Menurut saya, kita perlu benahi dulu benang kusut kondisi dalam negeri," ujarnya.
Dia menjelaskan kisruh antara anggota DPR dan pemerintah berdampak terhadap belum adanya regulasi yang pro daya saing untuk kepentingan MEA.
"Bila itu terus dibiarkan Indonesia akan babak belur menghadapi persaingan pasar bebas," ucap Firmansyah.
Idealnya, kata dia, di awal mulai bekerja, anggota DPR sudah memikirkan daya saing masyarakat, namun faktanya mereka sibuk mencari keseimbangan posisi kekuasaan.
Para wakil rakyat tidak melihat sisi ekonomi yang sudah parah karena tingkat pertumbuhan ekspor pada 2014 anjlok dan diperkirakan akan terus menurun.
"Wajar pertumbuhan produksi industri Indonesia saat ini hanya mampu menggenjot angka 1,4 persen, sedangkan Filipina 9,6 persen, Vietnam 6,7 persen dan Singapura 3,3 persen," ujar Firmansyah.
Ia juga menilai kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang sudah ditetapkan akan memukul daya saing industri dalam negeri.
Harga barang produksi menjadi lebih mahal karena biaya produksi membengkak dibandingkan negara-negara anggota Asean lainnya.
Kemungkinan, lanjut Firmansyah, pasar Indonesia yang daya belinya turun akibat harga BBM bersubsidi naik, akan memilih barang-barang murah dari Tiongkok dan negara ASEAN lainnya, daripada produk domestik.
Dampak kenaikan harga BBM bersubsidi juga akan memicu terjadinya kembali disharmoni antara buruh dan pemodal. Buruh akan terus menuntut penyesuaian upah, sedangkan perusahaan juga kemungkinan mendapat persoalan karena harga BBM naik.
"Misalnya berkurangnya penjualan akibat berkurangnya daya beli konsumen," kata Firmansyah.
Menurutnya, perbankan juga harus membenahi suku bunga kredit dalam negeri yang masih jauh lebih tinggi dibanding negara Asean lainnya.
Jika tidak, kata dia, pembiayaan kredit sektor rill dalam negeri akan berada di tangan bank asing. "Kredit konsumsi juga akan diambil alih bank asing," ujarnya. (Antara)
"Kemungkinan kisruh antaranggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah belum ada tanda-tanda berakhir secara permanen," katanya di Mataram, Jumat (21/11).
Kondisi politik yang belum mereda, menurut dia, berpengaruh terhadap kondisi perekonomian dalam negeri.
Oleh sebab itu, Ketua Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Mataram (Unram) itu menyarankan pemerintah menunda pemberlakukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015.
"Kondisi politik dan ekonomi dalam negeri belum siap untuk bersaing. Menurut saya, kita perlu benahi dulu benang kusut kondisi dalam negeri," ujarnya.
Dia menjelaskan kisruh antara anggota DPR dan pemerintah berdampak terhadap belum adanya regulasi yang pro daya saing untuk kepentingan MEA.
"Bila itu terus dibiarkan Indonesia akan babak belur menghadapi persaingan pasar bebas," ucap Firmansyah.
Idealnya, kata dia, di awal mulai bekerja, anggota DPR sudah memikirkan daya saing masyarakat, namun faktanya mereka sibuk mencari keseimbangan posisi kekuasaan.
Para wakil rakyat tidak melihat sisi ekonomi yang sudah parah karena tingkat pertumbuhan ekspor pada 2014 anjlok dan diperkirakan akan terus menurun.
"Wajar pertumbuhan produksi industri Indonesia saat ini hanya mampu menggenjot angka 1,4 persen, sedangkan Filipina 9,6 persen, Vietnam 6,7 persen dan Singapura 3,3 persen," ujar Firmansyah.
Ia juga menilai kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang sudah ditetapkan akan memukul daya saing industri dalam negeri.
Harga barang produksi menjadi lebih mahal karena biaya produksi membengkak dibandingkan negara-negara anggota Asean lainnya.
Kemungkinan, lanjut Firmansyah, pasar Indonesia yang daya belinya turun akibat harga BBM bersubsidi naik, akan memilih barang-barang murah dari Tiongkok dan negara ASEAN lainnya, daripada produk domestik.
Dampak kenaikan harga BBM bersubsidi juga akan memicu terjadinya kembali disharmoni antara buruh dan pemodal. Buruh akan terus menuntut penyesuaian upah, sedangkan perusahaan juga kemungkinan mendapat persoalan karena harga BBM naik.
"Misalnya berkurangnya penjualan akibat berkurangnya daya beli konsumen," kata Firmansyah.
Menurutnya, perbankan juga harus membenahi suku bunga kredit dalam negeri yang masih jauh lebih tinggi dibanding negara Asean lainnya.
Jika tidak, kata dia, pembiayaan kredit sektor rill dalam negeri akan berada di tangan bank asing. "Kredit konsumsi juga akan diambil alih bank asing," ujarnya. (Antara)