LSP Telematika merupakan lembaga yang bersifat independen dan profesional di dalam membuat dan mengembangan standarisasi kompetensi kerja, melakukan Verifikasi terhadap tempat uji kompetensi yang berpedoman kepada ISO 17011, membuat materi uji kompetensi dan menerbitkan sertifikat kompetensi dengan menggunakan sistem yang berpedoman kepada ISO 17024, yang merupakan rujukan profesionalisme bagi industri di dalam dan di luar negeri.
Senin, 10 November 2014
Perbandingan UMP 2014 di berbagai negara ASEAN
Tahun 2013 Indonesia merupakan negara terbesar ke 10 penyumbang perekonomian dunia yang tergabung dalam G20
Tahun 2011-2013 posisi indonesia terus meningkat sebagai Negara tujuan investasi paling diminati dunia dan tahun 2013 berada di top level mengalahkan India dan China
Namun di sayangkan... Jakarta sebagai Ibu Kota Negara dengan UMP tahun 2014 sebesar Rp.2,4 juta masih jauh tertinggal dengan China, Thailand, dan Filipina.
Bahkan Banjar Negara (Jawa Tengah) menempati peringkat upah terendah sedunia sebesar Rp.910 ribu. Nominal tersebut jauh lebih rendah dari Kamboja, Pakistan, Mongolia, dan Vietnam.
Maka Indonesia yang akan memasuki pasar global ASEAN (AEC) di tahun 2015 memiliki biaya upah yang sangat kompetitif, sekalipun upah minimum mengalami kenaikan
Jelang AEC 2015, Persaingan Pekerja di ASEAN Kian Sengit
JAKARTA, (PRLM).- Menjelang pelaksanaan Asean Economic Community (AEC) tahun 2015, Pemerintah Indonesia memberikan perhatian khusus terhadap sistem pendidikan dan pelatihan kerja. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan daya saing angkatan kerja Indonesia.
“Pemerintah pun terus mendorong pengembangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang dilengkapi dengan sertifikasi kompetensi dan keterampilan kerja yang diakui secara regional maupun internasional,” kata Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, di Jakarta, Minggu (1/6/2014).
Disebutkan, sistem pendidikan dan pelatihan kerja bersinergi itu bermuara pada peningkatan kompetensi kerja. Dengan demikian, kebutuhan pasar kerja dapat segera terpenuhi, seiring terjadinya perluasan kesempatan kerja baru dan itu dapat menumbuhkan wirausaha baru.
“AEC sudah di depan mata, dan sebagai bangsa dengan potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam terbesar di kawasan ASEAN, AEC harus dipandang sebagai peluang sekaligus tandatangan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dari Sabang sampai Merauke,” kata Muhaimin dalam sambutannya yang disampaikan Dirjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas (Binalattas) Kemnakertrans Khairul Anwar saat seminar pada Rapat Kerja Nasional Muslimat NU.
Dikatakan sistem pendidikan dan pelatihan kerja harus mampu mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang mempunyai kualitas, keterampilan, profesionalisme, dan kompetensi kerja yang tinggi serta relevan dengan kondisi dan kebutuhan dunia kerja.
“Salah satu faktor penentu yang harus kita lakukan adalah memberdayakan seluruh lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan untuk mencetak tenaga kerja yang kompeten dan professional,“ katanya.
Sementarta itu, Dirjen Khairul Anwar mengatakan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI bersama-sama dengan seluruh kementerian dan sektor mendorong pengembangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang dilengkapi dengan sertifikasi kompetensi dan keterampilan kerja yang diakui secara regional maupun internasional.
“Menjelang pelaksanaan AEC 2015, pemerintah terus memperkuat pengembangan SKKNI sebagai salah satu infrastruktur yang strategis dalam menata SDM nasional Indonesia,” kata Khairul Anwar.
Khairul menambahkan SKKNI memiliki peranan besar sebagai acuan dalam pengembangan program pendidikan dan pelatihan dan Acuan dalam sertifikasi kompetensi tenaga kerja.
Selain itu, SKKNI dapat menjadi acuan dalam seleksi dan rekrutmen karyawan dan penempatan tenaga kerja bahkan dapat menjadi acuan pembinaan karier pegawai.
Mengingat posisi strategis SKKNI tersebut, kata Khairul maka SKKNI perlu dikembangkan disemua bidang dan tingkatan profesi, terutama pada bidang dan tingkatan profesi yang menjadi agenda request and offer di pasar kerja bebas.
“SKKNI juga harus dikembangkan setara atau sebanding dengan standar kompetensi kerja dari negara lain atau standar internasional yang sudah dikenal dan berlaku di banyak negara,” kata Khairul.
Pemerintah dalam hal ini, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui sebagian tugas pokok dan fungsinya tetap konsisten dan menaruh perhatian yang sangat besar terhadap pembinaan dan pengembangan SDM khususnya untuk menyiapkan tenaga kerja yang kompeten, terampil dan produktif.
Dengan standar kompetensi kerja dalam SKKNI maka akan memudahkan bagi lembaga diklat dan lembaga sertifikasi dalam meningkatkan kualitas SDM di mana standar kompetensi akan menjadi acuan dalam pengembangan program dan kurikulum diklat.
Sedangkan bagi lembaga sertifikasi akan menjadi acuan dalam pelaksanaan sertifikasi kompetensi untuk menjamin bahwa tenaga kerja perbankan memenuhi kompetensi dan kualifikasi.
Dikatakan, Indonesia telah memiliki Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) masing-masing sektor sebanyak 84 instansi antara lain LSP Otomotif; LSP Telematika; LSP Logam Mesin; LSP Sekuriti; LSP Pariwisata; LSP Geomatika; LSP Kecantikan; LSP Kehutanan; LSP Kelautan dan Perikanan serta LSP Hotel dan Restoran.
Sampai awal tahun 2014, telah tersusun 252 SKKNI dari sembilan sektor yaitu Sektor Pertanian, Perkebunan, Perikanan dan Kehutanan (37 SKKNI), Sektor Listrik, Pertambangan dan Energi (21 SKKNI), Sektor Industri Manufaktur (30 SKKNI), Sektor Perhubungan dan Telekomunikasi (10 SKKNI), Sektor Kebudayaan, Pariwisata dan Seni (26 SKKNI).
Selain itu, juga ada Sektor Kesehatan (3 SKKNI), Sektor Keuangan dan Perbankan (13 SKKNI), Sektor Konstruksi (47 SKKNI) serta Sektor Jasa, Konsultansi dan Pertambangan (47 SKKNI).
.pikiran-rakyat.com/node/283485
“Pemerintah pun terus mendorong pengembangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang dilengkapi dengan sertifikasi kompetensi dan keterampilan kerja yang diakui secara regional maupun internasional,” kata Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, di Jakarta, Minggu (1/6/2014).
Disebutkan, sistem pendidikan dan pelatihan kerja bersinergi itu bermuara pada peningkatan kompetensi kerja. Dengan demikian, kebutuhan pasar kerja dapat segera terpenuhi, seiring terjadinya perluasan kesempatan kerja baru dan itu dapat menumbuhkan wirausaha baru.
“AEC sudah di depan mata, dan sebagai bangsa dengan potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam terbesar di kawasan ASEAN, AEC harus dipandang sebagai peluang sekaligus tandatangan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dari Sabang sampai Merauke,” kata Muhaimin dalam sambutannya yang disampaikan Dirjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas (Binalattas) Kemnakertrans Khairul Anwar saat seminar pada Rapat Kerja Nasional Muslimat NU.
Dikatakan sistem pendidikan dan pelatihan kerja harus mampu mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia yang mempunyai kualitas, keterampilan, profesionalisme, dan kompetensi kerja yang tinggi serta relevan dengan kondisi dan kebutuhan dunia kerja.
“Salah satu faktor penentu yang harus kita lakukan adalah memberdayakan seluruh lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan untuk mencetak tenaga kerja yang kompeten dan professional,“ katanya.
Sementarta itu, Dirjen Khairul Anwar mengatakan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI bersama-sama dengan seluruh kementerian dan sektor mendorong pengembangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang dilengkapi dengan sertifikasi kompetensi dan keterampilan kerja yang diakui secara regional maupun internasional.
“Menjelang pelaksanaan AEC 2015, pemerintah terus memperkuat pengembangan SKKNI sebagai salah satu infrastruktur yang strategis dalam menata SDM nasional Indonesia,” kata Khairul Anwar.
Khairul menambahkan SKKNI memiliki peranan besar sebagai acuan dalam pengembangan program pendidikan dan pelatihan dan Acuan dalam sertifikasi kompetensi tenaga kerja.
Selain itu, SKKNI dapat menjadi acuan dalam seleksi dan rekrutmen karyawan dan penempatan tenaga kerja bahkan dapat menjadi acuan pembinaan karier pegawai.
Mengingat posisi strategis SKKNI tersebut, kata Khairul maka SKKNI perlu dikembangkan disemua bidang dan tingkatan profesi, terutama pada bidang dan tingkatan profesi yang menjadi agenda request and offer di pasar kerja bebas.
“SKKNI juga harus dikembangkan setara atau sebanding dengan standar kompetensi kerja dari negara lain atau standar internasional yang sudah dikenal dan berlaku di banyak negara,” kata Khairul.
Pemerintah dalam hal ini, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui sebagian tugas pokok dan fungsinya tetap konsisten dan menaruh perhatian yang sangat besar terhadap pembinaan dan pengembangan SDM khususnya untuk menyiapkan tenaga kerja yang kompeten, terampil dan produktif.
Dengan standar kompetensi kerja dalam SKKNI maka akan memudahkan bagi lembaga diklat dan lembaga sertifikasi dalam meningkatkan kualitas SDM di mana standar kompetensi akan menjadi acuan dalam pengembangan program dan kurikulum diklat.
Sedangkan bagi lembaga sertifikasi akan menjadi acuan dalam pelaksanaan sertifikasi kompetensi untuk menjamin bahwa tenaga kerja perbankan memenuhi kompetensi dan kualifikasi.
Dikatakan, Indonesia telah memiliki Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) masing-masing sektor sebanyak 84 instansi antara lain LSP Otomotif; LSP Telematika; LSP Logam Mesin; LSP Sekuriti; LSP Pariwisata; LSP Geomatika; LSP Kecantikan; LSP Kehutanan; LSP Kelautan dan Perikanan serta LSP Hotel dan Restoran.
Sampai awal tahun 2014, telah tersusun 252 SKKNI dari sembilan sektor yaitu Sektor Pertanian, Perkebunan, Perikanan dan Kehutanan (37 SKKNI), Sektor Listrik, Pertambangan dan Energi (21 SKKNI), Sektor Industri Manufaktur (30 SKKNI), Sektor Perhubungan dan Telekomunikasi (10 SKKNI), Sektor Kebudayaan, Pariwisata dan Seni (26 SKKNI).
Selain itu, juga ada Sektor Kesehatan (3 SKKNI), Sektor Keuangan dan Perbankan (13 SKKNI), Sektor Konstruksi (47 SKKNI) serta Sektor Jasa, Konsultansi dan Pertambangan (47 SKKNI).
.pikiran-rakyat.com/node/283485
Jelang Pasar Bebas ASEAN, Pekerja Indonesia Masih Minim Sertifikat Kompetensi
Jakarta - Badan Nasional Setifikasi Pekerja (BNSP) menyatakan sangat prihatin menyikapi minimnya pekerja di Tanah Air yang telah memiliki Sertifikat Kompetensi. Disinyalir, mahalnya biaya dan sulitnya membuat sertifikat sebagai biang keladinya.
"BNSP sangat miris dan prihatin karena dari begitu banyak pekerja di Tanah Air, hingga saat ini baru 3 juta orang yang memiliki sertifikat kompetensi. Kami menduga, mahalnya biaya sulitnya membuat sertifikat sebagai penyebab utamanya," kata Kepala BNSP, Ajat Daradjat, dalam keterangannya yang diterima Jumat (10/10), di Jakarta.
Menurutnya, seharusnya pembuatan seritifat kompetensi tak mempersulit pekerja.
"Kalau biayanya mahal, sulit membuatnya, pasti sedikit pekerja yang berminta membuat sertifikat kompetensi. Padahal, sertifikat kompetensi sangat dibutuhkan oleh pekerja. Apalagi menjelang diberlakukannya ASEAN Free Trade Zone," tambahnya.
Bila pekerja asal Indonesia tak memiliki sertifikat kompetensi, mereka akan tergerus oleh jaman. Lebih dari itu, upah kerja mereka jauh di bawah standar.
Untuk itu Ajat menyarankan, semestinya setiap perusahaan bisa melakukan sertifikasi kompetensi terhadap karyawannya. Kalau pembuatan sertifikasi kompetensi harus dilakukan oleh lembaga tertentu, maka jumlah pekerja yang memperoleh sertifikat kompetensi tetap sedikit.
"Alangkah baiknya, jika perusahaan melakukan ujian sertifikasi kompetensi di perusahannya berdasarkan standar yang sudah ditetapkan pemerintah. Sehingga akan semakin banyak pekerja yang memiliki sertifikat kompetensi," tandasnya.
Menurut dia, seharusnya pada 2015 mendatang, sudah ada 20 juta pekerja yang memiliki sertifikat kompetensi. Namun dengan kenyataan yang ada, baru ditargetkan pada 2019 bisa mencetak 20 juta pekerja bersertifikat kompetensi.
"Jika seorang pekerja telah memiliki sertifikat kompetensi, maka yang bersangkutan memiliki hak untuk berontak jika mendapat upah tak sesuai. Termasuk kepada perusahaan asing yang mempekerjakannya," kata dia.
Menyoal biaya pembuatan sertifikat kompetensi, Ajat menyatakan memang tak bisa menentukan biaya besarnya biaya yang harus dikeluarkan seorang pekerja. Semuanya tergantung pada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang melakukannya. Namun BNSP menyarankan agar LSP tak mematok biaya yang mahal dan tak mempersulit seorang pekerja untuk memperoleh sertifikat kompetensi.
"BNSP sangat miris dan prihatin karena dari begitu banyak pekerja di Tanah Air, hingga saat ini baru 3 juta orang yang memiliki sertifikat kompetensi. Kami menduga, mahalnya biaya sulitnya membuat sertifikat sebagai penyebab utamanya," kata Kepala BNSP, Ajat Daradjat, dalam keterangannya yang diterima Jumat (10/10), di Jakarta.
Menurutnya, seharusnya pembuatan seritifat kompetensi tak mempersulit pekerja.
"Kalau biayanya mahal, sulit membuatnya, pasti sedikit pekerja yang berminta membuat sertifikat kompetensi. Padahal, sertifikat kompetensi sangat dibutuhkan oleh pekerja. Apalagi menjelang diberlakukannya ASEAN Free Trade Zone," tambahnya.
Bila pekerja asal Indonesia tak memiliki sertifikat kompetensi, mereka akan tergerus oleh jaman. Lebih dari itu, upah kerja mereka jauh di bawah standar.
Untuk itu Ajat menyarankan, semestinya setiap perusahaan bisa melakukan sertifikasi kompetensi terhadap karyawannya. Kalau pembuatan sertifikasi kompetensi harus dilakukan oleh lembaga tertentu, maka jumlah pekerja yang memperoleh sertifikat kompetensi tetap sedikit.
"Alangkah baiknya, jika perusahaan melakukan ujian sertifikasi kompetensi di perusahannya berdasarkan standar yang sudah ditetapkan pemerintah. Sehingga akan semakin banyak pekerja yang memiliki sertifikat kompetensi," tandasnya.
Menurut dia, seharusnya pada 2015 mendatang, sudah ada 20 juta pekerja yang memiliki sertifikat kompetensi. Namun dengan kenyataan yang ada, baru ditargetkan pada 2019 bisa mencetak 20 juta pekerja bersertifikat kompetensi.
"Jika seorang pekerja telah memiliki sertifikat kompetensi, maka yang bersangkutan memiliki hak untuk berontak jika mendapat upah tak sesuai. Termasuk kepada perusahaan asing yang mempekerjakannya," kata dia.
Menyoal biaya pembuatan sertifikat kompetensi, Ajat menyatakan memang tak bisa menentukan biaya besarnya biaya yang harus dikeluarkan seorang pekerja. Semuanya tergantung pada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang melakukannya. Namun BNSP menyarankan agar LSP tak mematok biaya yang mahal dan tak mempersulit seorang pekerja untuk memperoleh sertifikat kompetensi.
Sumber : http://www.beritasatu.com/ekonomi/216340-jelang-pasar-bebas-asean-pekerja-indonesia-masih-minim-sertifikat-kompetensi.html
Langganan:
Postingan
(
Atom
)