Negara-negara anggota ASEAN tengah gencar mempersiapkan AEC 2015 (ASEAN Economic Community 2015). 10 negara anggota ASEAN bersatu untuk menjadi salah satu kawasan perekomian yang dapat diperhitungkan dalam percaturan perekonomian Internasional AEC atau MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) resmi diberlakukan tahun 2015. Mau tak mau, siap tak siap Indonesia harus ikut berpartisipasi.MEA bertujuan untuk memberikan keleluasaan dan kebebasan bagi Negara-negara anggotaASEAN dengan menghapuskan pungutan-pungutan ekspor impor seperti: quota, tarif dsb,sehingga memudahkan aliran barang, jasa, tenaga kerja terampil serta aliran investasi keluar masuk di suatu Negara.
Indonesia sepertinya“kebakaran jenggot” ketika wacana ini diluncurkan. Bagaimana tidak? Sebagai Negara berkembang ia harus mengkaji ulang hal ini lebih dalam. Apakah MEA akan menjadi peluang, tantangan atau malah ancaman? Banyak pihak yang memandang pesimis mengenai kesiapan Indonesia di tengah himpitan pasar bebas.Ada beberapa faktor yang di anggap sebagai kendala Indonesia untuk menyambut MEA2015:
1.SDM yang belum siap. Dikhawatirkan SDM Kita akan kalah saing ditengahmudahnya Tenaga Kerja asing yang lebih terampil masuk ke dalam negeri. Hal inidapat memicu meningkatnya jumlah pengangguran.
2.MEA 2015 resmi diberlakukan 1 tahun lagi, belum ada persiapan memadai yangdilakukan pemerintah.
3.Minimnya sosialisasi, sehingga sedikit masyarakat yang melakukan persiapandalam menyongsong MEA 2015
4.Lonjakan Inflasi akibat kenaikan harga BBM dan meningkatnya BI Rate yang menyebabkan para pengusaha kesulitan dalam mengakses modal pengembanganusaha. Padahal, di saat situasi genting seperti ini, diperlukan akselerasi pertumbuhanyang lebih baik. Jika menilik pengalaman sebelumnya.
Sebagai tuan rumah, Indonesia hanya bisa menjadi "penonton" ditengah gempuran barang-barang impor, baik itu pada komoditi otomotif,elektronik, teknologi. Indonesia hanya menjadi konsumen aktif. Negara yang digadang-gadang sebagai Negara Agraris “gemah ripah loh jinawi”, sampai saat ini masih getol mengimpor bahan pangan seperti: kedelai, beras, bawang merah, cabai dsb dari Negara lain. Jika hal ini terus terjadi, impor lebih besar dari pada ekspor dapat memicu munculnya permasalahan baru, yaitu melemahnya mata uang rupiah, akibat neraca perdagangan yangdefisit, sehingga menggangu stabilitas ekonomi.Di Negara lain, Indonesia dikenal sebagai produsen
“Tenaga Kerja Tak Terdidik”.Tak hanya di Negara orang, di Negara sendiri pun masih menjadi “babu”. Ironis, Kita hanya bisa numpang bekerja dan hanya bisa memenuhi kualifikasi paling rendah dalam strukturorganisasi perusahaan-perusahaan Multinasional. Masih Sedikit masyarakat Indonesiamenjadi tenaga ahli. Sebagian besar SDM Indonesia dianggap belum mumpuni untukmengisi posisi vital sebuah perusahaan asing. Sebagai Negara dengan penduduk paling besar, seharusnya Indonesia dapat memanfaatkannya. Apabila Indonesia dapat membaca peluang ini, maka bisa dijadikan batu loncatan untuk pasar bebas yang lebih luas. Perlu ada standarisasi pada semua sektor, tak terkecuali SDM dan daya saing produk. Para pemangku kepentingan Lembaga pendidikan yang notabennya sebagai pencetak SDM dituntut untuk melakukan standarisasi. Standarisasi berguna untuk meningkatkan daya saing dan melindungi masyarakat dari produk-produk yang tidak berkualitas. Dalam hal ini, banyak pihak menganggap Program Standarisasi bisa dijadikan senjata ampuh untuk berkompetisi pada MEA 201.