Dengan dibukanya tirai perdagangan barang dan jasa, serta tenaga terampil kepada sesama negara anggota ASEAN, persaingan semakin terbuka. Berbagai hambatan tariff dan non-tariff dikurangi (atau mungkin dihapus). Para produsen semakin mudah menjual produknya ke negeri tetangga. Peluang berkarir di negeri tetangga pun terbuka. Sebaliknya Indonesia juga menjadi terbuka akan hadirnya produk dan tenaga terampil sesama ASEAN.
Dalam banyak perbincangan, termasuk yang saya simak dari Prof. Hora Tjitra di radio Brava 103.8 FM Jakarta, umumnya kendala produsen Indonesia adalah standardisasi kualitas produk yang belum berstandar internasional. Kendala lain tentunya jaringan produksi, pemasaran dan distribusi. Ini berbagai masalah pada komoditi benda.
Kendala para tenaga terampil beda-beda tipis. Belum adanya sertifikasi profesi sebagai pengakuan standar internasional, selain tentunya kemampuan bahasa asing, kualitas etos kerja, serta profesionalisme. Yang terakhir ini tidak terbatas pada profesi bergengsi seperti pengacara, akuntan, atau dokter. Namun juga profesi ekonomi kreatif seperti graphic designer, arsitek, koki, pengembang software, penerjemah, awak perhotelan dan travel, dan sebagainya.
Saya sudah sering mendengar obrolan kiri-kanan dari berbagai komunitas dan industri end-user. Sebagian mengeluhkan etos kerja dan profesionalisme tenaga kerja Indonesia. Sering tidak memenuhi deadline, atau kurang tanggap dalam berkomunikasi seperti surat elektronik. Itu dalam ranah bisnis. Sering juga saya mendengar pengelola pameran atau bazaar mengeluhkan booth untuk komunitas dibiarkan kosong. Hanya terisi lembaran-lembaran karya dan informasi, tanpa dihadiri perwakilan komunitas untuk berkomunikasi. Padahal booth disediakan gratis, sedangkan peserta lain (komersial) dikenakan biaya sewa.
Saya sudah sering mendengar obrolan kiri-kanan dari berbagai komunitas dan industri end-user. Sebagian mengeluhkan etos kerja dan profesionalisme tenaga kerja Indonesia. Sering tidak memenuhi deadline, atau kurang tanggap dalam berkomunikasi seperti surat elektronik. Itu dalam ranah bisnis. Sering juga saya mendengar pengelola pameran atau bazaar mengeluhkan booth untuk komunitas dibiarkan kosong. Hanya terisi lembaran-lembaran karya dan informasi, tanpa dihadiri perwakilan komunitas untuk berkomunikasi. Padahal booth disediakan gratis, sedangkan peserta lain (komersial) dikenakan biaya sewa.
Terdengar sederhana memang, tapi etos kerja dan profesionalisme ini menjadi fondasi dari berbagai hal yang berujung pada nama baik dan rezeki. Di Singapura contohnya, profesi awak angkutan umum dan pramusaji banyak diisi keturunan India dan China daratan. Kenapa? Karena warga asli Singapura enggan melakukannya. Di Malaysia banyak pekerja perkebunan diisi warga Indonesia. Kenapa? Karena warga asli Malaysia enggan. Kenapa warga India banyak ditemukan bekerja di Malaysia, Singapura dan Indonesia? Karena mereka mau kerja keras dan etos kerjanya baik.
Jangan sampai karena reputasi buruk, para produsen dan pemberi kerja Indonesia lebih suka memberikan proyek kepada komikus ASEAN lain. Jangan salahkan mereka, namun salahkan diri sendiri.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar