. Lembaga Sertifikasi Profesi: Standardisasi dan Sertifikasi Profesi: Sebuah Tren atau Kebutuhan?

Kamis, 02 Oktober 2014

Standardisasi dan Sertifikasi Profesi: Sebuah Tren atau Kebutuhan?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, profesi berarti bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan dan keahlian tertentu, sedangkan Oxford Dictionary mendefinisikannya sebagai pekerjaan yang dibayar, terutama pekerjaan yang membutuhkan pendidikan dan pelatihan lanjutan.

Adapun standar didefinisikan sebagai ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan dan standardisasi merupakan penyesuaian bentuk (ukuran, kualitas) dengan pedoman (standar) yang telah ditetapkan.

Mengapa Perlu Standardisasi Profesi?
Igor Ansoff, pakar manajemen strategi, menyatakan, untuk sukses bersaing dalam kondisi lingkungan yang berubah secara turbulen, suatu organisasi harus memiliki kapabilitas atau kemampuan yang fit terhadap turbulensi lingkungan tersebut. Kapabilitas organisasi ditentukan tiga faktor utama, yaitu profil manajer, kompetensi, dan iklim atau budaya organisasi.

Dua hal yang pertama sebetulnya merupakan faktor yang berada di dalam kendali organisasi dan dapat diintervensi untuk meningkatkan kapabilitas dan daya saing organisasi. Pada kenyataannya, pendidikan formal tidak selalu mampu menyediakan sumber daya manusia (termasuk manajer) yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja.
Masih banyak lulusan pendidikan tinggi yang dinilai tidak siap pakai sehingga,saat bergabung dengan sebuah organisasi, sumber daya manusia tersebut tidak mampu mendukung peningkatan kapabilitas organisasi.

Hal ini salah satunya terjadi karena perkembangan teknologi kerja tidak diikuti dengan perkembangan kurikulum yang sesuai. Di sisi lain, organisasi pun tidak selalu mampu menetapkan kompetensi seperti apa yang harus dimiliki untuk menduduki posisi atau pekerjaan tertentu.
Karena itu kerap terjadi adanya ketidaksesuaian antara kompetensi riil yang dimiliki karyawan yang ada saat ini dengan kompetensi standar yang menjadi tuntutan pekerjaan atau profesi, yang pada akhirnya berakibat pada tidak tercapainya sasaran kinerja dan lemahnya daya saing organisasi.
Untuk itu diperlukan standardisasi kompetensi. Standardisasi menjadi semakin penting pada era bisnis global, bisnis yang bisa berlangsung antarnegara. Tenaga kerja asing dari berbagai bidang pekerjaan dapat bebas masuk ke Indonesia dan menjalankan praktik usaha. Persaingan tidak lagi terjadi hanya antarindividu atau antarorganisasi dan perusahaan, tetapi sudah antarnegara.

Saat ini, secara nasional daya saing Indonesia, berdasarkan survei human development index (HDI) oleh UNDP pada 2007, menempati urutan ke-107 (dan urutan ke-108 tahun 2006) dari 177 negara yang disurvei, di bawah Vietnam yang baru lebih kurang 15 tahun lepas dari perang dengan Amerika Serikat (AS).Vietnam mampu menduduki urutan ke-105 (tahun 2007), dua poin lebih baik dari posisi Indonesia.

Ini pekerjaan rumah yang cukup berat bagi pemerintah kita. Untuk mengatasi persoalan di atas, standardisasi kompetensi yang dibutuhkan untuk profesi atau pekerjaan tertentu tidak lagi hanya sebuah tren,tapi sudah menjadi suatu keharusan.

Dengan adanya standardisasi profesi, diharapkan akan tercapai the right man with the right competencies untuk pemenuhan tugas dan tanggung jawab pada pekerjaan atau profesi tertentu sesuai dengan tuntutan organisasi dan lingkungan.

Di negara-negara maju, standardisasi profesi sudah lama dilakukan, misalnya lewat National Vocational Qualification (NVQ) di Inggris atau National Organization for Competency Assurance (NOCA) di AS.
Adapun di Indonesia,berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pemerintah telah membentuk BNSP atau Badan Nasional Sertifikasi Profesi, sebuah lembaga independen yang bekerja untuk menjamin mutu kompetensi dan pengakuan tenaga kerja pada seluruh sektor bidang profesi di Indonesia melalui proses sertifikasi.
BNSP merupakan lembaga yang mempunyai otoritas dan menjadi rujukan dalam penyelenggaraan sertifikasi kompetensi kerja secara nasional. Pembentukan BNSP diharapkan dapat mendorong terjadinya peningkatan kompetensi atau kapabilitas dan daya saing sumber daya manusia Indonesia di pasar kerja global.

Dalam PP No 23/2004 yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri 5 Agustus 2004, diatur ketentuan mengenai sertifikasi kompetensi kerja dan standar kompetensi kerja nasional Indonesia.
Sertifikasi kompetensi kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji kompetensi yang mengacu pada standar kompetensi kerja nasional dan atau internasional.

Sementara standar kompetensi kerja nasional Indonesia merupakan rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, keahlian, serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Beberapa contoh standardisasi dan sertifikasi profesi yang sudah ada sejak lama adalah chartered financial planner (CFP), chartered pilot licence (CPL), certified economic developer (CEcD), dan chartered member of institute of logistic and transport (CMLIT).
Untuk memenangi persaingan lokal maupun global,secara agresif dan intensif beberapa organisasi menanamkan investasi dalam bentuk program pengembangan kompetensi karyawan dengan tujuan meningkatkan daya saing.

Dalam 10 tahun terakhir, sudah ada perusahaan yang menggunakan jasa konsultan (lokal maupun asing) untuk membangun standar kompetensi serta melakukan sertifikasi seperti yang dilakukan sebuah bank swasta nasional untuk posisi senior teller yang ada di perusahaannya.

Secara individu, saat ini pelatihan- pelatihan sertifikasi kompetensi yang diselenggarakan di institusi pelatihan lokal maupun internasional semakin banyak diikuti oleh mereka yang ingin meningkatkan nilai jual dirinya. Contohnya kelas pelatihan sertifikasi pengadaan dan accredited competency professional yang diselenggarakan sebuah institusi pendidikan yang berlokasi di Jakarta Pusat.
Kelas itu tidak pernah sepi dari peserta, sebagian besar mengikuti pelatihan atas biaya pribadi. Padahal, biaya pelatihan yang dibebankan kepada peserta relatif tinggi, lebih dari Rp10 juta per program. Terlihat bahwa secara individu, kesadaran sumber daya manusia Indonesia untuk meningkatkan daya saing sudah semakin tinggi.

Semakin disadari bahwa ijazah yang diperoleh dari pendidikan formal saja tidak cukup, tetapi akan lebih bernilai lagi bila memiliki sertifikasi (yang berarti pengakuan) untuk profesi tertentu. Masalahnya sekarang perlu dikaji lebih lanjut, apakah lembaga pelatihan dan sertifikasi kompetensi tersebut dapat diandalkan?

Dikarenakan ruang lingkup kompetensi kerja sangat luas dan tersebar di berbagai sektor, BNSP memberikan lisensi kepada lembaga sertifikasi profesi yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja.

Perlu dilakukan pengecekan, apakah lembaga pelatihan dan sertifikasi kompetensi tersebut merupakan salah satu lembaga yang mendapatkan lisensi dari BNSP.
Bila tidak, perlu dilihat dengan siapa lembaga tersebut berafiliasi karena ada juga lembaga lokal yang bekerja sama dengan lembaga asing sejenis BNSP dalam penyelenggaraan pelatihan dan sertifikasi kompetensi tersebut.

Mengapa hal ini menjadi penting? Hal itu agar sertifikasi yang diperoleh tidak hanya menjadi selembar kertas tak berarti, tetapi memenuhi legalitas dan diakui secara publik.
*Tulisan dimuat di Harian Seputar Indonesia, 7 Maret 2009

Tidak ada komentar :

Posting Komentar