Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, profesi berarti bidang
pekerjaan yang dilandasi pendidikan dan keahlian tertentu, sedangkan
Oxford Dictionary mendefinisikannya sebagai pekerjaan yang dibayar,
terutama pekerjaan yang membutuhkan pendidikan dan pelatihan lanjutan.
Adapun standar didefinisikan sebagai ukuran tertentu yang dipakai
sebagai patokan dan standardisasi merupakan penyesuaian bentuk (ukuran,
kualitas) dengan pedoman (standar) yang telah ditetapkan.
Mengapa Perlu Standardisasi Profesi?
Igor Ansoff, pakar manajemen strategi, menyatakan, untuk sukses
bersaing dalam kondisi lingkungan yang berubah secara turbulen, suatu
organisasi harus memiliki kapabilitas atau kemampuan yang fit terhadap
turbulensi lingkungan tersebut. Kapabilitas organisasi ditentukan tiga
faktor utama, yaitu profil manajer, kompetensi, dan iklim atau budaya
organisasi.
Dua hal yang pertama sebetulnya merupakan faktor yang berada di dalam kendali organisasi dan dapat diintervensi untuk meningkatkan kapabilitas dan daya saing organisasi. Pada kenyataannya, pendidikan formal tidak selalu mampu menyediakan sumber daya manusia (termasuk manajer) yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja.
Dua hal yang pertama sebetulnya merupakan faktor yang berada di dalam kendali organisasi dan dapat diintervensi untuk meningkatkan kapabilitas dan daya saing organisasi. Pada kenyataannya, pendidikan formal tidak selalu mampu menyediakan sumber daya manusia (termasuk manajer) yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja.
Masih banyak lulusan pendidikan tinggi yang dinilai tidak siap pakai
sehingga,saat bergabung dengan sebuah organisasi, sumber daya manusia
tersebut tidak mampu mendukung peningkatan kapabilitas organisasi.
Hal ini salah satunya terjadi karena perkembangan teknologi kerja
tidak diikuti dengan perkembangan kurikulum yang sesuai. Di sisi lain,
organisasi pun tidak selalu mampu menetapkan kompetensi seperti apa yang
harus dimiliki untuk menduduki posisi atau pekerjaan tertentu.
Karena itu kerap terjadi adanya ketidaksesuaian antara kompetensi
riil yang dimiliki karyawan yang ada saat ini dengan kompetensi standar
yang menjadi tuntutan pekerjaan atau profesi, yang pada akhirnya
berakibat pada tidak tercapainya sasaran kinerja dan lemahnya daya saing
organisasi.
Untuk itu diperlukan standardisasi kompetensi. Standardisasi menjadi
semakin penting pada era bisnis global, bisnis yang bisa berlangsung
antarnegara. Tenaga kerja asing dari berbagai bidang pekerjaan dapat
bebas masuk ke Indonesia dan menjalankan praktik usaha. Persaingan tidak
lagi terjadi hanya antarindividu atau antarorganisasi dan perusahaan,
tetapi sudah antarnegara.
Saat ini, secara nasional daya saing Indonesia, berdasarkan survei
human development index (HDI) oleh UNDP pada 2007, menempati urutan
ke-107 (dan urutan ke-108 tahun 2006) dari 177 negara yang disurvei, di
bawah Vietnam yang baru lebih kurang 15 tahun lepas dari perang dengan
Amerika Serikat (AS).Vietnam mampu menduduki urutan ke-105 (tahun 2007),
dua poin lebih baik dari posisi Indonesia.
Ini pekerjaan rumah yang cukup berat bagi pemerintah kita. Untuk
mengatasi persoalan di atas, standardisasi kompetensi yang dibutuhkan
untuk profesi atau pekerjaan tertentu tidak lagi hanya sebuah tren,tapi
sudah menjadi suatu keharusan.
Dengan adanya standardisasi profesi, diharapkan akan tercapai the right man with the right competencies untuk pemenuhan tugas dan tanggung jawab pada pekerjaan atau profesi tertentu sesuai dengan tuntutan organisasi dan lingkungan.
Di negara-negara maju, standardisasi profesi sudah lama dilakukan,
misalnya lewat National Vocational Qualification (NVQ) di Inggris atau
National Organization for Competency Assurance (NOCA) di AS.
Adapun di Indonesia,berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, pemerintah telah membentuk BNSP atau Badan
Nasional Sertifikasi Profesi, sebuah lembaga independen yang bekerja
untuk menjamin mutu kompetensi dan pengakuan tenaga kerja pada seluruh
sektor bidang profesi di Indonesia melalui proses sertifikasi.
BNSP merupakan lembaga yang mempunyai otoritas dan menjadi rujukan
dalam penyelenggaraan sertifikasi kompetensi kerja secara nasional.
Pembentukan BNSP diharapkan dapat mendorong terjadinya peningkatan
kompetensi atau kapabilitas dan daya saing sumber daya manusia Indonesia
di pasar kerja global.
Dalam PP No 23/2004 yang ditandatangani Presiden Megawati
Soekarnoputri 5 Agustus 2004, diatur ketentuan mengenai sertifikasi
kompetensi kerja dan standar kompetensi kerja nasional Indonesia.
Sertifikasi kompetensi kerja adalah proses pemberian sertifikat
kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji
kompetensi yang mengacu pada standar kompetensi kerja nasional dan atau
internasional.
Sementara standar kompetensi kerja nasional Indonesia merupakan
rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan,
keahlian, serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan
syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan yang berlaku.
Beberapa contoh standardisasi dan sertifikasi profesi yang sudah ada
sejak lama adalah chartered financial planner (CFP), chartered pilot
licence (CPL), certified economic developer (CEcD), dan chartered member
of institute of logistic and transport (CMLIT).
Untuk memenangi persaingan lokal maupun global,secara agresif dan
intensif beberapa organisasi menanamkan investasi dalam bentuk program
pengembangan kompetensi karyawan dengan tujuan meningkatkan daya saing.
Dalam 10 tahun terakhir, sudah ada perusahaan yang menggunakan jasa
konsultan (lokal maupun asing) untuk membangun standar kompetensi serta
melakukan sertifikasi seperti yang dilakukan sebuah bank swasta nasional
untuk posisi senior teller yang ada di perusahaannya.
Secara individu, saat ini pelatihan- pelatihan sertifikasi kompetensi
yang diselenggarakan di institusi pelatihan lokal maupun internasional
semakin banyak diikuti oleh mereka yang ingin meningkatkan nilai jual
dirinya. Contohnya kelas pelatihan sertifikasi pengadaan dan accredited competency professional yang diselenggarakan sebuah institusi pendidikan yang berlokasi di Jakarta Pusat.
Kelas itu tidak pernah sepi dari peserta, sebagian besar mengikuti
pelatihan atas biaya pribadi. Padahal, biaya pelatihan yang dibebankan
kepada peserta relatif tinggi, lebih dari Rp10 juta per program.
Terlihat bahwa secara individu, kesadaran sumber daya manusia Indonesia
untuk meningkatkan daya saing sudah semakin tinggi.
Semakin disadari bahwa ijazah yang diperoleh dari pendidikan formal
saja tidak cukup, tetapi akan lebih bernilai lagi bila memiliki
sertifikasi (yang berarti pengakuan) untuk profesi tertentu. Masalahnya
sekarang perlu dikaji lebih lanjut, apakah lembaga pelatihan dan
sertifikasi kompetensi tersebut dapat diandalkan?
Dikarenakan ruang lingkup kompetensi kerja sangat luas dan tersebar
di berbagai sektor, BNSP memberikan lisensi kepada lembaga sertifikasi
profesi yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk melaksanakan
sertifikasi kompetensi kerja.
Perlu dilakukan pengecekan, apakah lembaga pelatihan dan sertifikasi
kompetensi tersebut merupakan salah satu lembaga yang mendapatkan
lisensi dari BNSP.
Bila tidak, perlu dilihat dengan siapa lembaga tersebut berafiliasi
karena ada juga lembaga lokal yang bekerja sama dengan lembaga asing
sejenis BNSP dalam penyelenggaraan pelatihan dan sertifikasi kompetensi
tersebut.
Mengapa hal ini menjadi penting? Hal itu agar sertifikasi yang
diperoleh tidak hanya menjadi selembar kertas tak berarti, tetapi
memenuhi legalitas dan diakui secara publik.
*Tulisan dimuat di Harian Seputar Indonesia, 7 Maret 2009
Tidak ada komentar :
Posting Komentar