Beberapa
hari terakhir ini wacana kesiapan Indonesia menghadapi pelaksanaan
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di tahun 2015 sangat gencar dibahas.
Sebagian kalangan terlihat optimis memandang hal tersebut, namun
selebihnya bernada negatif. Tanpa berupaya menghakimi salah satu pihak,
persiapan kita dalam menghadapi MEA boleh dibilang masih kalah dengan
negara-negara tetangga. Sebagai contoh, produk-produk lokal Thailand dan
Malaysia kini sudah lebih dari 90% tersertifikasi. Beberapa di
antaranya bahkan mulai masuk ke pasar Indonesia.
Berbeda halnya dengan kondisi di nusantara. Sampai dengan pertengahan
bulan ini kesiapan Indonesia menghadapi MEA baru mencapai 83%. Padahal
jika dilihat dari kepemilikan sumber daya alam dan manusia, negara kita
harusnya jauh lebih siap menyongsong penerapan kesepakatan tersebut.
Inilah yang kini mulai menimbulkan ‘keresahan’ di kalangan pemain lokal. Alih-alih menang dalam persaingan, salah strategi bisa membuat mereka ‘gulung tikar’. Jika itu permasalahannya, apa yang perlu kita cermati?
Inilah yang kini mulai menimbulkan ‘keresahan’ di kalangan pemain lokal. Alih-alih menang dalam persaingan, salah strategi bisa membuat mereka ‘gulung tikar’. Jika itu permasalahannya, apa yang perlu kita cermati?
Pertama, pentingnya pemain lokal untuk memiliki hak paten, khususnya dari sektor usaha mikro kecil menengah.
Serbuan produk-produk asing pada era MEA diyakini berasal dari sektor
UMKM di setiap negara. Hal ini dipicu oleh trend pertumbuhan sektor
kreatif di Asia Tenggara.
Tengok saja bagaimana sekarang media sosial instagram lazim digunakan
sebagai media promosi yang sekaligus menciptakan penjualan.
Perkembangan internet dengan koneksi yang makin cepat merupakan peluang
emas bagi pebisnis pemula berkategori UMKM untuk masuk ke pasar
internasional.
Meski perkembangan itu cukup massif, namun harus diakui bahwa era perdagangan online telah memicu persaingan menjadi semakin sengit. Copy-paste
produk maupun merek kini marak terjadi. Kita dapat memperhatikan
kemiripan merek yang bertujuan untuk ‘merebut’ pasar. Konsumen yang tak
jeli cenderung akan memperoleh produk ‘tiruan’ pada toko online
yang tidak menjadi rujukan utama. Dalam jangka menengah, kondisi ini
sebenarnya sangat mengkhawatirkan sehingga kepemilikan paten diharapkan
mampu menjadi solusi terbaik bagi terciptanya sebuah daya saing.
Kedua, pentingnya standardisasi bagi produk-produk lokal.
Hingga kini harus disadari bahwa pemahaman pemain akan perlunya upaya
standardisasi produk masih rendah. Kita dapat melihat bagaimana
buah-buah hasil budi daya di bumi Pertiwi kalah bersaing dengan produk
sejenis dari Thailand di pasar global. Padahal dua puluh tahun
sebelumnya kondisi sebaliknyalah yang terjadi. Tak hanya itu, konsumsi
pasar domestikpun kini harus ditopang oleh pasokan dari negara tetangga.
Usut punya usut ternyata faktor pemicunya adalah standardisasi
produk. Anda mungkin masih ingat kejadian penolakan buah-buahan dan
sayur mayur nusantara ditolak oleh pasar Eropa di akhir 2012. Faktor
penyebabnya adalah kemasan (packaging) yang tidak memenuhi
standar ‘ramah lingkungan’, padahal di lain sisi kualitas buah dan
sayurnya jauh lebih baik ketimbang negara pemasok lainnya. Sungguh
sangat miris bukan?
Merujuk pada realitas tersebut dapat disimpulkan bahwa pekerjaan
rumah untuk membuat para pemain lokal memahami arti penting
standardisasi produk yang berorientasi ekspor merupakan tanggung jawab
segenap elemen bangsa.
Program pendampingan (mentoring) UMKM harus segera diadakan
agar dalam hitungan bulan akan terjadi banyak penambahan produk yang
telah terstandardisasi. Di satu sisi kehadiran pemerintah untuk
memberikan dukungan berupa kemudahan serta akses informasi mutlak
dibutuhkan. Sedangkan di lain sisi perusahaan besar dapat turut
mempercepat pengembangan UMKM dengan memberikan pendampingan manajerial
serta jejaring agar standardisasi dapat dilakukan.
Memiliki produk terstandardisasi pada fase lanjutan sebenarnya akan
mempermudah pemain untuk mengurus sertifikasi. Ini merupakan modal awal
bagi produk untuk melangkah ke pasar internasional.
Perhatian pemerintah khususnya dalam meningkatkan kemudahan dan
fleksibilitas layanan pengurusan sertifikasi sangat dibutuhkan. Hanya
melalui cara inilah industri lokal akan mampu bersaing di pasar ASEAN
sekaligus menepis kekhawatiran persaingan di era MEA.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar